Tuesday, February 5, 2008

[lingkarLOA] Jangan Jadi Korban Law of Attraction!

Tulisan ini sengaja saya rilis, berkaitan dengan mulai berkembangnya berita
atau kabar tentang korban-korban yang berjatuhan dan dianggap sebagai tumbal
dari LoA (Law of Attraction).

Lebih dari itu, saya sendiri adalah seorang pembicara yang termasuk sering
menyajikan seminar bertemakan Law of Attraction, dan tentunya tidak ingin
"makan korban".

Tumbal, maksudnya adalah orang-orang yang "karena" menonton The Secret atau
mendalami Law of Attraction, malah jadi tukang melamun dan terjauhkan dari
action. Melamun dan melamun, dan saat ditanya mereka mungkin menjawab, "Saya
sedang me-LoA sesuatu nih...". Gawatkan?

Atas berjatuhannya korban-korban ini, ada sebagian orang yang langsung
mempertanyakan Law of Attraction, dan ada pula yang menilai bahwa
pembelajarnyalah yang "salah ngelmu". Saya mungkin lebih memposisikan diri
pada bagian yang kedua. Mudah-mudahan, bukan saya sendiri yang malah "salah
ngelmu".

Beberapa ikon universal terpenting dalam konsep Law of Attraction adalah
tentang sabar, ikhlas, dan syukur. Tiga konsep ini memegang peranan penting
dalam proses "meminta" atau "asking" yang digaungkan besar-besaran oleh Law
of Attraction. The universe is your catalog. Just ask.

Sangat mungkin, dua kalimat terakhir itulah yang menjadi "biang kerok" dan
menciptakan korban, yaitu orang-orang yang justru menjadi lebih pasif, no
action, thinking only, talk only, nge-LoA doang, gara-gara mendalami Law of
Attraction.

Sabar, ikhlas, dan syukur melekat pada dua kelompok situasi, kelompok
situasi yang pertama berkaitan dengan hal-hal yang given, dan kelompok
situasi yang kedua terkait dengan action.

Cacat bawaan lahir, musibah atau bencana, dan menjadi korban sebuah
peristiwa, bisa jadi masuk pada kelompok situasi yang pertama. Begitu pula
jika kita terlahir kaya, punya wajah cantik atau tampan, menjadi keturunan
raja yang berkuasa, tiba-tiba mendapatkan hadiah undian, atau mendapatkan
durian runtuh. Istilah kata, sudah dari sononya.

Sepanjang sisa tulisan ini, kita belajar bersama tentang situasi kedua,
yaitu situasi yang tidak dari sononya alias apa-apa yang memang menjadi
wilayah "kekuasaan manusia" dalam batas-batas kemanusiaan kita.

Sebagian kecil dari "kekuasaan" itu, adalah segala kesuksesan duniawi kita.
Kebahagiaan yang non fisik, pekerjaan yang memberi hasil besar, bisnis yang
maju dan berkembang, uang yang banyak, tanah di mana-mana, mobil idaman, dan
sebagainya.

*Sabar*

Sabar adalah fenomena action. Dari mana juntrungannya seseorang bisa
bersabar, jika ia tidak melakukan apapun? Apa yang mau disabarin? Seseorang
yang no action tidak berhak atas sabar.

Dalam literatur manapun, kita akan menemukan bahwa sabar selalu dikaitkan
dengan action. Sabar adalah fenomena hati yang tidak begitu saja muncul
melainkan berkaitan dengan tindakan.

Kita bekerja maksimal atau optimal, hasilnya belum memuaskan, kita musti
sabar. Kita berhak untuk sabar karena kita sudah take action.

Apakah jika kita sudah merasa bersabar, maka kemudian kita diam? Jika
jawaban kita "ya", maka kita tidak berhak untuk sabar. Sabar hanya
diperuntukkan bagi mereka yang terus bergerak. Sabar tidak berlaku untuk
orang yang hanya diam.

*Ikhlas*

Ikhlas adalah fenomena action. Kita berupaya maksimal atau optimal, kemudian
berhasil, dan tiba-tiba itu semua terenggut dari diri kita. Kita diminta
untuk ikhlas karena semuanya cuma titipan. Ikhlas kita, terkait dengan
action. Dalam hal ini kita memang berhak untuk ikhlas. Apa yang bisa kita
ikhlaskan jika kita tidak melakukan apa-apa dan tidak mengalami apa-apa yang
menjadi hasil tindakan kita?

Kita tetap berhak untuk ikhlas, jika kita tetap bergerak. No action, kita
tak berhak merasa ikhlas. Aneh sekali, jika kita mengikhlaskan sesuatu, dan
kemudian tidak action untuk sesuatu yang lebih baik.

*Syukur*

"Syukur Alhamdulillah Pak Sopa, outlet saya sudah bertambah tujuh buah di
seluruh Jakarta." Jatuh dari langit? Tidak, karena itu semua tercipta dari
action. Outlet pertama, outlet kedua, dan seterusnya sampai outlet ketujuh,
semuanya adalah action. Dalam progress seperti itulah syukur berlaku.

Jika kita menambah satu saja outlet busana kita di Jakarta, jelas-jelas itu
adalah bentuk rasa syukur kita. Rasa-rasanya, sulit sekali membayangkan
bahwa kita melakukan itu karena terpaksa atau karena menderita. Jika itu
terjadi, maka outlet kedua hanya tercipta karena keinginan untuk survive.
Hanya untuk itukah kita berbisnis? Hanya untuk sekedar survive?

Rasa syukur kita, menciptakan action. Bahkan, positive action.

"Alhamdulillah, tahun 2008 ini akan ada banyak Power Workshop E.D.A.N. di
gelar di mana-mana." Jika saya hanya ngendon di Jakarta saja, maka Power
Workshop E.D.A.N. juga hanya akan ada di Jakarta saja, karena kebetulan
trainernya baru saya doang.

Rasa syukur saya (Alhamdulillah...), mendorong saya makin giat menambah
jadwal gelaran Power Workshop E.D.A.N. di mana-mana. Syukur menciptakan
action.

Jika Power Workshop E.D.A.N. masih sedikit peminatnya, saya diminta *ikhlas,
sabar... dan tidak tinggal diam*. Saya akan melakukan sesuatu untuk merubah
keadaan itu. Sabar dan ikhlas menciptakan action. Jika saya hanya diam,
sabar dan ikhlas saya tidak ada artinya. Itu konyol namanya.

Sabar, ikhlas, dan syukur adalah fenomena action. Action menciptakan sabar,
ikhlas, dan syukur. Ketiganya, menciptakan action lanjutan. Tidak ada tempat
untuk hanya sekedar melamun.

Ada pendekatan yang lebih mudah untuk memahami semua ini.

Awalnya, Law of Attraction berkaitan dengan cara kerja pikiran dalam menarik
berbagai hal yang diharapkan. Pikiran itu kemudian akan terkait dengan
perasaan, termasuk di dalamnya sabar, syukur, dan ikhlas.

Diketahui, modal utama manusia untuk sukses adalah akal dan badan. Mind and
body kata orang. Sementara itu, Law of Attraction lebih banyak berfokus pada
fenomena pikiran. Dari sini kita bisa memahami bahwa peran Law of Attraction
barulah *setengah saja* dalam menciptakan kesuksesan kita. Setengahnya lagi,
adalah badan kita alias action.

Law of Attraction adalah tentang pikiran. Artinya, ia tidak lepas dari
paradigma akal yang fungsinya adalah menimbang dan memilih. Dan bicara
tentang akal, maka pertanyaannya menjadi jauh lebih sederhana sekarang;
masuk akalkah jika kita menginginkan sesuatu, kemudian badan kita tinggal
diam dan bersiap menerima saja?

Law of Attraction, tidak hanya menarik apa yang kita inginkan. Sesuai
konteks mind-body, pikiran kita mestinya juga *menarik tubuh* untuk bergerak
mengejar keinginan. Jika tidak demikian, untuk apa diciptakan badan?

Jika kita mau mengembalikan semua itu kepada konsep keyakinan beragama, maka
semua itu bahkan tidak lagi hanya menjadi fenomena perasaan belaka. Itu
semua, adalah tentang akhlak alias sikap dan perilaku. Maka, semua itu akan
menjadi begini:

*Sabar itu disabar-sabarin;
Ikhlas itu diikhlas-ikhlasin; dan
Syukur itu disyukur-syukurin.*

Tidakkah kini kita bisa melihat dengan lebih jelas, bahwa itu semua terselip
di antara action?

Boleh belajar Law of Attraction, tapi jangan jadi no action.

Semoga bermanfaat.

*Ikhwan Sopa*

0 comments: