Monday, July 16, 2007

Pikiran Sadar, Bawah Sadar, Dan Do’a

Semakin mendalami neuro-linguistic-programing (NLP), dan menghayati arti kehidupan, perjalanan refleksi saya menemukan sesuatu yang belum pernah saya dapatkan: kenapa manusia dianjurkan berdo’a?. Apa yang tersembunyi dibalik do’a secara neurologis?. Yang sering saya temukan dalam ceramah rohani konvensional selama ini, do’a merupan alat komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Bahwa do’a adalah cara “memohon” sesuatu dengan rendah diri dan khusuk di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam dunia NLP do’a memiliki perspektif yang berbeda. Do’a dalam NLP lebih mempertegas betapa manusia sangat lemah di hadapan Sang Pencipta. Bila kita mempelajari konfigurasi otak manusia dan perannya, berdo’a merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia. Sehebat apa pun manuasia itu, berdoa menjadi suatu keharusan: wajib. Hanya saja Tuhan Maha Bijaksana, sehingga berdo’a menjadi semacam anjuran: mau berdo’a atau tidak, sangat tergantung pada tingkat keimanan kita masing-masing.Tuhan tidak akan rugi bila umat-Nya tidak berdo’a.

Untuk memahami pentingnya do’a versi NLP, saya harus bicara secara teoritis terlebih dahulu. Secara anatomis, otak manusia dibagi menjadi dua bagian besar: otak kanan dan otak kiri. Otak kiri adadalah otak rasional; otak kanan otak adalah otak kreatif, imajinatif, asosiatif dan inovatif. Sedangkan menurut para pakar psiko-analis, bahwa secara struktural berpikir, otak dibagi menjadi 3 (tiga) bagian besar: yakni pikiran sadar (conscious mind), pikiran pra sadar (sub conscious mind) dan pikiran bawah sadar (unconscious mind). Dengan bahasa lain, menurut Ary Agustian Ginanjar (2004), pikiran sadar (kecerdasan interlektual atau IQ), pikiran pra sadar (kecerdasan emosional atau EQ), dan pikiran bawah sadar ( kecerdasan spiritual atau SQ).

Dalam NLP, secara sederhana hanya membagi pikiran menjadi 2 (dua) yakni pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PS adalah pikiran aktual saat ini atau pikiran aktif: apa yang Anda rasakan dan Anda ingat saat ini. PBS adalah pikiran yang tidak muncul saat ini, saat Anda membaca tulisan ini yang bekerja secara aktif adalah PS. Semua pikiran yang digunakan untuk memahami makna tulisan ini adalah PS; sedangkan semua pikiran lainnya yang tidak muncul pada saat Anda membaca tulisan ini disebut PBS. Jadi misalnya Anda punya banyak pikiran (masalah: hutang, pekerjaan, keluarga dll) dan segera terlupakan sesaat (hanya saat) membaca tulisan ini, itulah PBS. Singkatnya, PS adalah pikiran yang saat ini muncul, sementara PBS adalah pikiran yang tidak muncul (tersimpan) saat ini.

Bila dilihat prosentasenya , jumlah PS jauh lebih kecil (12 persen) dibandingkan PBS (88 persen). Apa yang tersimpan dalam otak kita jauh lebih banyak dari pada apa yang kita gunakan saat ini. PBS ibarat perpustakaan, sementra PS ibarat katalognya (alat). Anda akan dengan mudah mendapatkan jumlah dan jenis buku yang tersedia di perpustakaan bila Anda mau menggunakan alat bantunya yakni katalog. Anda akan paham dan dapat memanfaat kekayaan diri yang tersimpan di dalam PBS, bila mau menfaatkan PS Anda sebagai alatnya.

Coolinng Wood (2005) menggambarkan hubungan antara PS dengan PBS, ibarat sebuah ruangan gelap dan lampu senter. Sebuah ruangan gelap ibarat PBS; lampu senter (alat) sebagai PS. Bila Anda masuk ke ruangan gelap tanpa alat bantu senter Anda akan terjebak dan tidak mampu menggambarkan isi keseluruhan ruangan tersebut. Berbeda dengan bila Anda menggunakan alat bantu senter, Anda tidak akan terjebak dan segera mendapatkan bentuk dan deskripsi ruangan tersebut.

PS ibarat seberkas cahaya yang mampu menyinari kegelapan. PBS ibarat kekayaan yang tersembunyi di ruangan gelap. Keduanya sangat bermanfaat untuk kehidupan ini. Sayangnya pendidikan formal kita nyaris tidak memiliki kurikulum bagaimana memanfaatkan kekayaan yang tersembunyi itu. NLP sebetulnya mampu untuk itu namun belum banyak dikenal di Indonesia: NLP for education.

Koordinasi antara PS dan PBS menjadi hal penting dalam kehidupan sehari-hari. PS adalah pengontrol utama mekanisme kerja di antara keduanya. PS menentukan kekayaan mana (informasi mana) yang akan dimanfaatkan pada situasi tertentu oleh seseorang. PS sangat menentukan potensi diri mana yang dapat digunakan dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Secara ideal mekanisme kerja diantara keduanya bersifat buka-tutup. Artinya, ketika PS bekerja PBS (dikunci), tidak boleh mengganggu kerja PS. Idealnya, ketika Anda sedang membaca tulisan ini, PBS tidak boleh muncul atau menginterupsi. Tetapi yang sering terjadi, ketika Anda membaca tulisan ini, PBS sering menginterupsi (muncul) sehingga konsentrasi buyar. Yang sering terjadi juga, Anda sedang mendengarkan kuliah, tetapi pikiran tiba-tiba melayang kemana-mana (ingat hutang, masalah keluarga, pekerjaan dll) sebagai hasil interupsi dari PBS. Bila Anda belum terampil mengendalikan sang interuptor tadi, tidak saja Anda menjadi sulit berkonsentrasi tetapi bisa fatal.

Khilaf adalah contoh betapa seseorang sering tidak mampu mengendalikan sang interuptor tadi. Bila Anda bekerja di laboratorium yang mempersyaratkan konsentrasi tinggi, dan prosedur ketat, maka akan sangat fatal bila tiba-tiba digoda oleh sang teruptor. Seorang ibu yang hendak memandikan bayinya dan khilaf karena ada interuptor (mungkin masalah hutang, masalah keluarga, masalah pekerjaan dan lain-lain) bisa jadi tiba-tiba menyiram balitanya dengan air panas dari termos. Semua itu bisa terjadi bila sang interuptor yang berasal dari pikiran bawah sadar tidak bisa dikendalikan dan dikelola secara baik.

Disinilah letaknya, sehebat apa pun manusia, secara potensial masih bisa lengah dan tergoda oleh sang interuptor. Manusia boleh bangga dengan hasil pikir otak sadarnya, boleh bangga dengan perencanaan yang matang dan standar kerja yang baku. Tetapi siapa pun orangnya masih bisa lengah oleh jutaan interuptor yang bersumber dari PBS. PS kita tak akan mampu mengunci rapat-rapat PBS untuk tidak menjadi interuptor. Berapa lama kita berkonsentrasi untuk satu hal? Berapa lama kita untuk tidak mengingat suatu hal ketika sedang konsentrasi? Interuptor bisa datang setiap saat.

Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa berdo’a adalah cara terbaik agar kita tidak mudah lengah dan hanyut oleh interuptor. Hanya Tuhan yang tidak pernah lupa. Secerdas apa pun manusia, tetap saja lengah dan lupa. Manusia diberi sifat lupa dan lengah. Maka berdo’alah kepada Tuhan agar sifat lupa dan lengah tidak menjebak diri kita. Hanya dengan seijin Tuhan manusia dapat terhindar dari kekurangannya (lengah, lupa, khilaf dan lain-lain).

Do’a dalam perspektif neurologis, adalah cara menyapa agar interuptor yang hadir adalah interuptor positif. Pada saat kita berdo’a (baik pada saat mulai, menjalani dan mengakhiri pekerjaan), sesungguhnya adalah sedang mengaktifkan otak spiritual, otak/syaraf positif yang bersumber dari nilai-nilai Ilahiyah. Bila yang satu ini sering diaktifkan (lebih dikenal dengan banyak dzikir) maka semua aktifitas kerja kita menjadi lebih terkontrol, lebih bijak dan lebih bermakna, kalau pun sang iteruptor datang adalah interuptor yang positif: yang mengingatkan agar tidak terjebak dalam kehilafan seperti contoh tersebut di atas.

Berdoa adalah cara menggunakan pikiran sadar dalam mengakses PBS yang terdalam yakni spiritual. Do’a adalah “lampu senter” untuk melihat secara komprehensif seluruh potensi pikir yang tersimpan di dalam otak kita sampai ke hal-hal yang spiritual. Do’a adalah cara mendapatkan “lampu senter Ilahiyah” yang mampu menerangi apa yang kita miliki (potensi diri), apa yang kita kerjakan, dan apa yang akan kita kerjakan menjadi lebih bermakna bagi banyak orang.

Barangkali itulah secara neurologis mengapa Tuhan dengan bijak menganjurkan supaya kita senantiasa berdo’a. Paling tidak agar kita tidak lupa atau khilaf, dan agar apa yang kita kerjakan setiap saat selalu terkontrol oleh nilai-nilai positif-Ilahiyah. Hanya dengan do’a hidup lebih bermakna dan terhindar dari kesombongan intektual.

Do’a adalah cahaya terang bagi diri sendiri dan kehidupan. Bila seseorang memilki terang hati (ikhlas), terang rasional (cerdas) dan terang emosinal (sabar), ia termasuk orang yang terhindar dari kegelapan.

Secara neurologis, manusia sangat rentan terhadap kehilafan, maka berdo’alah, agar kehilafan itu tetap terjaga oleh Yang Maha Terjaga : Tuhan.
Waidi - Purwokerto

1 comments:

Rumah Kiyut said...

Pak Purnomo,

Bahasan Anda menarik dan crisp. Saya tunggu tulisan2 selanjutnya.

Saluuuut...

Salam,

Teddi