Wednesday, August 22, 2007

THE POWER OF KEPEPET

KEPEPET VS IMING-IMING
oleh : Jaya Setiabudi
Pendiri Entrepreneur Association
Coach Entrepreneur Camp

Ada 2 sebab yg membuat orang tak tergerak untuk
berubah. Yang pertama adalah impiannya kurang kuat,
yang kedua tidak kepepet. Dua hal tersebut yang
seringkali disebut orang sebagai motivasi. Kesalahan
fatal yang timbul oleh sebagian besar motivator
ataupun trainer motivasi lainnya adalah hanya
menggunakan impian sebagai 'iming-iming' untuk
menggerakkan audiens. "Apa Impian anda? Siapa yang
impiannya punya mobil mewah? Rumah mewah? atau bahkan
kapal pesiar?" Memang, saat di ruang seminar, mereka
sangat terbawa dan termotivasi oleh sang motivator.
Tapi masalahnya, sepulang dari seminar, mereka
dihantam kemalasan, mungkin juga halangan-halangan
bahkan seringkali oleh orang-orang yang mereka
sayangi. Apa jadinya? Mereka tetap diam ditempat.
Contoh yang kedua, ada seorang salesman
yang bekerja di suatu perusahaan. Seperti perusahaan
lainnya, mereka menerapkan sistem bonus. "Jika anda
mencapai target yang telah ditentukan, maka anda akan
mendapat bonus jalan-jalan keluar negeri!" kata
managernya. "Gimana, semangat?" lanjut manager
berinteraksi. "Semagaat..ngat..ngat!" sambut salesman,
sambil mengepalkan tangannya seolah siap tempur. Bulan
demi bulan pun berlalu tanpa pencapaian target.
Kemudian si manager bertanya,"Apa bonus yang aku
tawarkan kurang besar?". "Enggak kok Pak, cukup besar,
mudah-mudahan bulan depan tercapai Pak". Setelah 3
bulan masa 'iming-iming' tak berhasil, si manager
mulai mengubah strategi. Dia berteriak agak menekan di
dalam meetingnya,"Pokoknya, jika anda tidak bisa
mencapai target penjualan yang sudah saya tetapkan,
anda saya PECAT!". Nah, keluarlah keringat dingin si
salesman. Sekeluar dari ruangan dia langsung
menyambangi calon-calon customernya, kerjanyapun
semakin giat. Malas, malu, nggak pe-denya hilang
seketika. Kok bisa? Karena KePePet! Yang dia pikirkan,
jika dia tidak dapat memenuhi target, dia akan
dipecat. Jika dipecat, penghasilannya akan nol. "Trus
anak istriku makan apa?" pikirnya. Anehnya, target
penjualan yang selama ini tidak pernah tercapai, bisa
juga terlampaui. Itulah yang disebut The Power of
Kepepet.
97% orang termotivasi karena Kepepet,
bukan karena iming-iming. Maka dari itu ada pepatah
mengatakan bahwa "Kondisi Kepepet adalah motivasi
terbesar di dunia!". Banyak perusahaan mengkampanyekan
Visi besarnya kepada seluruh karyawannya. Apa jawab
mereka? "Emang gua pikirin!". Bukannya salah karyawan
yang tidak peduli terhadap visi perusahaan, tapi
karena visi itu tak terlihat oleh karyawan. Mereka
lebih termotivasi oleh sesuatu yang berupa ancaman,
baik situasi dimasa mendatang ataupun berupa
punishment. John P. Kotter (Harvard Business Review)
mengemukakan " Establishing Sense of Urgentcy" adalah
langkah pertama untuk menggerakkan perubahan dalam
suatu organisasi. Dengan melihat ancaman-ancaman
terhadap kompetisi dan krisis, membuat mereka
tergerak, sebelum mengkomunikasikan "VISI".
"Jika rasa sakit terhadap kondisi sekarang tidak kuat,
orang tak akan beranjak untuk berubah"
Jadi analisa kembali kehidupan Anda
sekarang ini. Jika Anda tidak mengubahnya, rasa sakit
atau kerugian apa yang akan Anda dapatkan dimasa
mendatang. Saran saya, jika Anda berada di zona yang
sangat nyaman untuk tidak berubah (tidak melihat
ancaman), ciptakan sedikit trigger (challenge)
misalnya berupa penambahan investasi rumah. Jangan
beli rumah yang sesuai dengan kemampuan bayar Anda,
tapi 'sedikit lebih' dari kemampuan Anda sekarang.
Nah, dengan begitu Anda mau nggak mau dipaksa untuk
mencari penghasilan tambahan atau mengurangi porsi
pengeluaran yang tidak penting. Langkah kedua baru
pikirkan nilai investasi itu 5 sampai 10 tahun
mendatang, mungkin bisa sebagai solusi pembiayaan uang
sekolah anak Anda kelak. Dengan meletakkan porsi dan
posisi The Power of Kepepet dan Iming-iming secara
tepat, InsyaAllah kita akan selalu termotivasi. FIGHT!

TANGGAPAN PAK IKHWAN SOPA
Kepepet, atau menurut istilah Pak Johannes Surya (mestakung) adalah
kondisi kritis. Menurut beliau, kondisi kritis itu bahkan perlu
diciptakan. Berdasarkan teori fisika yang dijelaskan oleh Pak
Johannes, kondisi kritis itu akan membuat dunia di sekitar titik
kritis akan mendukung untuk terciptanya keseimbangan baru.

Misalnya kasus banjir. Air awalnya normal dan tenang, kemudian
mencapai titik kritis yang pertama, yaitu kondisi level merah seperti
yang ditunjukkan di pintu air Manggarai. Kemudian, terjadi ledakan
alias banjir. Beberapa saat kemudian, air akan mencapai titik kritis
kedua, yaitu saat ia mulai menyusut. Kemudian terjadi ledakan kedua,
di mana air akan menyusut dengan sangat cepat. Dan akhirnya, air akan
mencapai keseimbangan kembali.

Begitu pula halnya dengan tanah longsor.

Dalm konteks non manusia seperti di atas, kondisi kritis itu memang
sudah alamiah dan dari sononya memang begitu. Dalam konteks manusia,
hal ini juga sering dianjurkan.

Itu sebabnya, jika Anda punya rencana, apa yang paling penting adalah
timing. Mau dapat uang 10 juta? Tentukan kapan hari dan tanggal serta
jamnya. Tanyalah pada setiap coach dan motivator sukses, jawabannya
akan sama, yaitu pastikan tanggalnya. Bahkan, mereka mengatakan
itulah bedanya antara impian sukses dan mimpi di siang bolong.

Rencana tanpa deadline sama juga dengan mimpi di siang bolong. Dengan
deadline, barulah ia menjadi rencana yang mengarah pada tindakan.
Sebab, penetapan tanggal dan jam itu, akan menjadi semacam "hutang"
bagi yang bersangkutan. Dan dengan itu, cepat atau lambat, ia akan
bergerak merealisasikan rencana.

Dalam konteks LOA yang fokusnya adalah manusia yang punya pilihan,
conditiong semacam itu untuk manifestasi tidak dianjurkan. Mengapa,
karena manusia bisa memilih antara merasa "harus" dan merasa "ingin".
LOA berfokus pada "ingin".

Dasarnya adalah positive thinking dan positive feeling. Sehingga,
lebih baik untuk menciptakan "impian" daripada menciptakan "target"
yang malah menjadi beban.

Dalam "kepepet", fokusnya adalah menghindari sesuatu. Dalam
"bermimpi" fokusnya adalah meraih sesuatu.

Secara netral (NLP presupposition), "menghindari" sesuatu itu baik
dan "mengejar" sesuatu itu baik. Why? Sebab manusia punya pilihan,
dan apa yang dipilih logikanya pasti baik menurut dirinya sendiri.

Dengan kata lain, Mestakungnya Pak Johannes adalah pendekatan
negatif, dan LOA adalah pendekatan positive. Ini bukan soal benar
atau salah, tapi cuma pendekatan aja. Dalam prakteknya, hal ini erat
hubungannya dengan tipe manusia X dan manusia Y. X itu harus dipaksa,
dan Y itu harus dimotivasi. X dengan punishment, dan Y dengan reward.

Saya pribadi, lebih menyukai pendekatan LOA, positif, dan Y. Ini juga
tidak mutlak, karena sekali lagi manusia adalah makhluk yang punya
kemampuan memilih. Saya tidak setuju jika kita harus ekstrem dalam
memilih salah satu pendekatan.

Mendingan, kita gabung aja pendekatan itu, yang hasilnya akan lebih
mendekati konsep NLP di mana di dalam NLP itu ada "hidden
proposition" yang bunyinya:

"What ever works; Works."

Ini lebih netral dan justru lebih memperkaya. Saya sendiri lebih
menyukai bobot yang lebih besar pada pendekatan positif (setidaknya
setelah saya belajar LOA) ketimbang pendekatan negatif.

Contoh nyatanya begini: Kalo ustadz berdakwah dengan pendekatan
negatif, maka isi dakwahnya adalah neraka, ancaman, dan vonis.
Sebaliknya kalo pendekatan positif, maka isi akan surga, iming-iming,
dan peluang sukses.

Sesuai keyakinan agama saya, dalam beribadah kita lebih banyak
bersyukur ketimbang beristighfar. Sebab, sebelum kita berdosa, kita
sudah lebih dahulu menerima nikmat. Lahir jadi orang aja udah patut
disyukuri. Coba kalo lahir jadi toge? Pan gak lucu.

Jadi, hubungannya memang erat, tapi penggunaannya tidak bisa lepas
dari sistem keyakinan kita yang mendasar, yaitu keimanan.

Ada yang positif, ada yang negatif, ada yang netral. Mana yang benar?
Stop! berhentilah di situ, dan cukup jalani, dan yakini saja
keyakinan masing-masing. Yang jelas, jika semua pendekatan itu
dipelajari dan dipahami, pasti bermanfaat untuk mencerahkan kehidupan.

.... Waaah... panjang. Inikah bahan seminar buat nanti he...he...

Ikhwan Sopa

0 comments: